GEREJA DAN PEMBERDAYAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
GEREJA DAN PEMBERDAYAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Gereja dipanggil untuk menjadi sakramen keselamatan bagi manusia dan dunia, yakni tanda persatuan kasih mesra antara Allah dan manusia serta antar sesama manusia (bdk.Lumen Gentium, no.1). Panggilan dan perutusan tersebut dilaksanakan dengan usaha-usahauntuk mengejawantahkan kehadiran Kristus, Sang Gembala baik yang memelihara,melindungi dan mempersatukan domba-domba dengan kasih kegembalaan-Nya (bdk.Yohanes 10:10-11).Salah satu wujud nyata kasih kegembalan Kristus tersebut adalah keberpihakan-Nya kepada mereka yang miskin, sakit dan menderita sebagaimana dinyatakan dalam penampilan perdana-Nya di depan publik. Sikap dan komitmen-Nya untuk keberpihakan tersebut diluliskan oleh Penginjil Lukas dalam kata-kata yang sangat indah yang dikutif dari Kitab Nabi Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Lukas 4:18-19). Melalui kutipan tersebut diatas, Yesus menegaskan bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk menghadirkan “pembebasan” bagi manusia. Pembebasan ini tidak hanya dalam arti spiritual berupa pembebasan dari dosa, gangguan roh-roh jahat serta diorientasi kepada yang Ilahi, tetapi juga pembebasan dalam arti sosio-budaya: dari kemiskinan, kebodohan,keterbelengguan strata sosial dan kemiskinan relasi sosial dengan pihak lain. Bagi Yesus,pembebasan adalah pembebasan yang bersifat holistik, menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia.
Hal senada ditegaskan oleh Paus Johanes XXIII. Dalam Ensiklik Mater Et Magistra, no. 3, beliau menegaskan: “Meskipun Gereja pertama-tama harus mengusahakan keselamatan jiwa-jiwa, Gereja juga peduli pada hidup manusia sehari-hari, mengenai kesejahteraan dan kemakmurannya di dunia (pembangunan manusia yang seutuhnya – humanum).” Dalam perspektif ini, perlu ditegaskan bahwa pengembangan sosial ekonomi yang dimengerti oleh Gereja Katolik adalah pengembangan ekonomi yang berdimensi kemanusiaan, artinya pengembangan dan pembangunan ekonomi yang menjadikan manusia sebagai subyek dan pelaku utama. Oleh karena itu, pengembangan ekonomi yang justru memperbudak dan menjadikan manusia sebagai sarana dan bukan tujuan pengembanganharus ditolak dengan tegas. Pembangunan ekonomi adalah salah satu sisi dari pembangunan manusia seutuhnya. Dalam kaitan dengan hal itu, maka pemanfaatan sumber daya: daya alam,sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan sumber daya sosial harus diarahkan untuk menunjang tercapainya kesejahteraan sosial itu. Sebagai paguyuban umat beriman, Gereja dipanggil dan diutus untuk menjadi tandadan sarana kehadiran Kristus, artinya dipanggil untuk mewujudkan kasih kegembalaan Kristus tersebut melalui solidaritas kepada orang-orang miskin. Landasan Teologis bagi keterlibatan Gereja dalam pembangunan kesejahteraan sosial bertumpu kepada apa yang telah dilakukan oleh Sang Guru, yakni Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menjelma menjadi manusia dalam rangka mewujudkan keselamatan bagi manusia, termasuk didalamnya adalah pembangunan kesejahteraan sosial. Meskipun Ia adalah Tuhan, Ia datang ke dunia dan rela berkutat dengan seluruh aspek kemanusiaan manusia yang Ia kasihi. Ia merasakan kelaparan yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia mengalami penderitaan akibat penjajahan Romawi sama seperti manusia sezaman-Nya. Ia tidak duduk di istana atau tinggal di balik bangunan megah yang tertutup rapat dengan penjagaan ketat, tetapi Ia duduk bersama kumpulan orang berdosa (Mark 2,16). Agenda-Nya pun jelas. Bukan untuk mencari popularitas semu, atau membangun kebesaran-Nya sendiri, melainkan untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia dengan memberikan kehidupan yang berkelimpahan. Dengan menjadi citra Allah, manusia menjadi pusat dan puncak ciptaan Allah. Pribadi manusia merupakan cerminan paling gamblang dari Allah yang hadir di tengah-tengah kita. Dengan meneladan Kristus yang datang kepada manusia untuk memberi hidup, maka tujuan Gereja dalam mengusahakan kesejahteraan sosial adalah untuk memelihara dan bertanggungjawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan Kristus kepadanya agar setiap manusia dapat hidup dalam kesemertabatan sebagai citra Allah dengan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain, dalam mengembangkan kesejahteraan sosial itu, Gereja tidak berhadapan dengan kemanusiaan yang abstrak, melainkan dengan pribadi nyata, konkret, dan historis yang memerlukan pertolongan. Oleh karena itu, Gereja tidak dapat mengabaikan kemanusiaan. Pribadi manusia ini adalah langkah utama yang harus ditapaki oleh Gereja dalam melaksanakan misi pembangunan kesejahteraan sosial seperti yang diteladankan oleh Kristus. Inisiatif Kristus datang ke dunia untuk memberi hidup yang berkelimpahan dapat diartikan bahwa Kristus sendiri menghendaki bahwa setiap manusia dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan diri itu bukanlah sesuatu yang bersifat fakultatif atau opsional. Maksudnya, bukan terserah pada masing-masing pribadi untuk mau berkembang atau tidak. Sebaliknya, perkembangan dan kemajuan diri adalah panggilan yang merupakan bagian dari rencana keselamatan Allah bagi setiap orang. Artinya, Allah menghendaki setiap manusia berkembang ke arah kesemartabatan sebagai citra Allah dengan terpenuhinya kebutuhan dasar: sandang, pangan dan papan. Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa Gereja tidak boleh tinggal diam dalam upaya pembangunan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dan warganya. Secara teologis,solidaritas Kristus atas manusia sebagai puncak dan pusat karya-Nya menjadi dasar untuk pekerjaan-pekerjaan sosial yang dilakukan Gereja dalam pengembangan karya social ekonomi dewasa ini. Dalam perspektif ini, Gereja tidak boleh menutup mata dan cuci tangandari beragama persoalan sosial yang ada di tengah masyarakat. Keterlibatan Gereja dalampermasalahan sosial dan upaya peningkatan sosial ekonomi harus benar-benar mewujud secara nyata di tengah masyarakat sebagai jawaban Gereja atas persoalan sosial ekonomi yang muncul di masyarakat. Salah satu ciri yang menjadi kekuatan Gereja dalam mengemban tugas perutusan ini adalah membangun jejaring sosial serta kesetiakwanan sosial diantara sesama umat dan warga masyarakat. Saling kepercayaan yang tumbuh sebagai modal sosial di kalangan warga masyarakat dan umat mampu menyokong upaya-upaya yang membangkitkan tenaga-tenaga sosial ekonomi yang tersembunyi dalam setiap orang. Dengan tumbuhnya sikap inklusif dan partisipatif diantara kalangan umat, akan menggerakkan semua pihak untuk dengan rela mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan hidup masyarakat, khususnya dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, sejumlah aksi dan kegiatan kongkret patut dicatat. Gerakan APP Nasional adalah salah satu bentuk konkret dari solidaritas serta partisipasi dari seluruh umat dalam menggalang dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada level lebih sempit, yakni pada level Gereja lokal (Diosis) DSAP (Dana Solidaritas Antar Paroki).
Semuanya itu adalah gerakan yang tumbuh atau ditumbuhkan dengan berdasar pada semangat berbagi serta solidaritas dengan dan antar sesama. Pihak yang mempunyai “lebih” dengan sukacita membagikannya kepada pihak yang berkekurangan, sehingga semua hidup dalam kecukupan. Tentu saja, solidaritas ini tidak berhenti pada soal “bagi-membagi”, tetapi harus menggerakkan orang untuk “melangkah” maju dalam pencapaian kesejahteraan. Semangat solidaritas yang diterima dari pihak lain hendaknya dijadikan sebagai modal sosial dalam mengupayakan kesejahteraan. Tanpa spirit dari dalam diri sendiri yang menggerakkan orang untuk beraksi, mustahil suatu perubahan akan dicapai; sebaliknya,orang akan tetap bersikap sebagai pihak yang dikasihani. Dalam kerangka berpikir semacam ini, kiranya dapat dipahami kegagalan yang terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek yang didanai oleh lembaga Gereja atau lembaga donor lainnya. Pihak penerima proyek hadir sebagai subyek pasif yang tidak dilibatkan dalam seluruh proses, akibatnya ketika pihak donor tidak lagi melanjutkan pendanaan, maka proyek gagal. Oleh karena itu, adalah penting untuk “membangun” mentalitas serta ethos kerja yang berdasar pada spirit inkarnasi Kristus yang mampu mengubah sikap pasif ke arah sikap aktif yang bertanggungjawab. Sikap tanggungjawab dan aktivasi yang muncul dari dalam diri manusia akan menggerakkan orang untuk berinovasi dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama.
(Rm I Ketut Adi Hardana, MSF).